Jumat, Mei 01, 2009

Jangan Lagi Panggil Kami "Indon"

Puniah duduk termenung, menatap siapa saja yang lalu lalang di depannya. Ia kelihatan letih setelah memasak dan membersihkan dapur di shelter tenaga kerja Indonesia. Di shelter yang terletak di bagian belakang Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia, itu terdapat sekitar 80 TKI "bermasalah". Mereka terpaksa melarikan diri dari majikan dan minta perlindungan ke KBRI karena diperkosa, atau dianiaya majikan, atau gajinya tidak dibayar.

Kulo kepingin wangsul mawon (saya ingin pulang saja)," kata Puniah yang berasal dari Desa Tlogomulyo Bantengan Pilang, Kecamatan Gubug, Grobogan, Jawa Tengah. Ibu muda berusia 27 tahun itu terpaksa meninggalkan keluarganya di Jawa Tengah karena terimpit kemiskinan, ketiadaan pekerjaan di desa, dan kebutuhan membiayai anaknya yang berusia 10 tahun.

Kalau di desanya ada pekerjaan—apa pun juga—tidak mungkin lulusan sekolah dasar ini pergi ke Malaysia untuk menjadi pembantu. "Kulo niku anake wong ora nduwe. Semah kulo namung buruh bangunan, galak, malah padu terus. nDilalah anak kulo lelaranen. Kulo mriki pados arto, kangge nguripi kalih ngobati anak kulo (Saya ini anak orang miskin. Suami saya buruh bangunan, galak, dan sering berantem. Anak saya pun sakit-sakitan. Saya ke sini mencari uang untuk menghidupi dan mengobati anak saya)," lanjut Puniah memelas.

Puniah terpaksa melarikan diri karena tidak tahan ikut majikannya. Selain sudah satu tahun bekerja tidak dibayar, anak majikannya suka menggerayanginya pada waktu malam. "Majikan saya genit," lanjut Puniah.

Lain lagi yang dialami Rani Nasution (20). Ibu muda asal Medan ini juga tidak digaji oleh majikannya yang orang Melayu meski sudah bekerja lebih dari dua tahun. Karena tidak tahan, Rani pun terpaksa melarikan diri ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

"Sudah menelepon keluarga dan suami?" tanya Kompas.

"Sudah. Tetapi kata ayah hanya ’E… masih hidup kau’. Suami saya entah di mana," lanjut Rani.

Bayi-bayi

Situasi di shelter itu tidak beda dengan tempat-tempat penampungan tenaga kerja Indonesia (TKI) lainnya. Mereka tidak boleh keluar shelter karena tidak memiliki identitas apa-apa. Ruang geraknya terbatas pada sebagian kecil kawasan KBRI. Meski demikian, mereka memiliki rutinitas hidup. Di antara 80-an TKI itu, mereka ditampung beberapa ruang besar yang dilengkapi tempat tidur tingkat. Itu pun tidak cukup sehingga ada yang sebagian yang harus tidur di lantai menggunakan tikar. Lalu bayi-bayi siapa itu?

"Yang digendong Lies itu Farid, anak mbak S yang diperkosa majikannya. Ia tidak mau membawa anak itu pulang ke Indonesia karena mbak S masih punya suami dan keluarga," tutur Siti Fatimah, TKI bermasalah asal Medan yang diserahi tugas untuk mencatat berbagai persoalan yang menjadi keluhan TKI lainnya.

"Lalu yang lain itu anak siapa?" tanya Kompas lagi.

"Itu anak si D dari NTT. Ia justru diperkosa oleh orang Madura yang katanya mau menyelamatkan dirinya. Yang itu, anak si R yang diperkosa oleh Rela (semacam hansip)," lanjut Siti.

Hal tersebut menjadi persoalan karena akan dikemanakan bayi-bayi merana itu kalau sang ibu tidak ingin membawanya serta. "Itulah repotnya. Kami harus mengurusinya. Kasihan anak-anak ini, tidak bisa mengikuti ibunya. Atau barangkali ada yang mau mengadopsi? Dan mereka ini, kalau urusannya selesai, segera diberi surat perjalanan laksana paspor (SPLP), langsung pulang," jelas Tatang B Razak, Ketua Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan Warga Negara Indonesia pada KBRI Kuala Lumpur.

Harga diri

Mereka yang menghuni shelter itu tidak hanya para TKI yang tidak dibayar atau diperkosa, tetapi juga yang dianiaya oleh majikannya. Di shelter itu masih ada Nirmala Bonat dari Kupang, Suryani (Lombok), Ceriyati (Brebes), atau yang lain yang terpaksa melarikan diri ke KBRI karena tidak tahan disiksa majikannya. Hingga awal September lalu, mereka masih menunggu penyelesaian kasusnya yang dilimpahkan ke pengadilan Malaysia.

Selama ini, nasib para TKI yang dianiaya ini yang sering didengar dan membuat hati kita geram. Tidak hanya itu. Saking seringnya kejadian penyiksaan, membuat sebagian dari kita sadar, betapa penyiksaan itu juga melukai harga diri bangsa. Seolah anak-anak bangsa yang karena diimpit kemiskinan dan terpaksa mencari nafkah di negeri orang harus menerima perlakuan tidak wajar sebagai manusia.

"Dari berbagai kesengsaraan yang dialami para TKI itu, ada semacam cap yang menempel pada tiga etnis besar di Malaysia. Kalau TKI dipukul atau dianiaya, majikannya umumnya dari etnis China. Kalau diperkosa, majikannya dari etnis India. Sedangkan kalau majikannya dari etnis Melayu, biasanya tidak mau membayar gaji," ujar Khairuddin Harahap, warga Indonesia yang sudah 25 tahun tinggal di Kuala Lumpur dan mendirikan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Jasindo Advokasi dan Perlindungan Devisi Malaysia.

Dalam pengamatan Khairuddin, sebagian besar TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak dibekali keterampilan sama sekali saat dikirim dari Indonesia. Mereka direkrut dari kampung-kampung dan desa-desa langsung dikirim ke Kuala Lumpur, Johor, atau kota besar lain di Malaysia. Tergiur iming-iming gaji tinggi, para remaja yang tidak memiliki pendidikan mencukupi, tidak memiliki pekerjaan, dan karena terimpit kemiskinan seperti terbius mengikuti tawaran calo.

"Padahal, begitu mengiyakan dan melangkah keluar dari pintu rumah, si TKI itu berarti sudah menggadaikan hidupnya. Seluruh biaya dari rumah hingga sampai ke majikan harus dia tebus sendiri. Dan untuk mengambil TKI sebagai pembantu rumah tangga, para majikan harus membayar kepada agen sebesar 5.000 ringgit sampai 6.000 ringgit (sekitar Rp 13,5 juta-Rp 16 juta). Dengan biaya sebesar itu, ternyata TKI bersangkutan tidak bisa bekerja apa-apa. Maka, bisa dimengerti kalau para majikan pun geram," jelas Khairuddin.

Meski demikian, tidak sedikit kisah sukses yang bisa diraih oleh para TKI yang bekerja di Malaysia. Maka, tidak mengherankan bila Malaysia masih menjadi salah satu tujuan utama TKI untuk mengadu nasib. Sebaliknya, Malaysia sendiri memerlukan banyak tenaga kerja dari Indonesia untuk mengerjakan bidang konstruksi, pekerja kasar, pembantu rumah tangga, atau bekerja di kebun-kebun kelapa sawit, dan sebagainya. Dengan gaji sekitar 40-50 ringgit per hari, para TKI dalam kenyataannya bisa hidup cukup. Untuk hidup sehari-hari, paling hanya diperlukan 15 ringgit. Sisanya bisa ditabung dan dikirim kepada keluarganya di Indonesia.

"Karena itu, jangan heran kalau jumlah orang Indonesia di Malaysia sekitar dua juta. Sebagian besar memiliki izin kerja, atau memiliki izin sebagai penduduk tetap, ada pula yang ilegal, serta sekitar 20.000 pelajar dan mahasiswa Indonesia. Padahal, total jumlah penduduk Malaysia sekitar 26 juta, terdiri dari 64 persen Melayu, 26 persen China, delapan persen India, dan dua persen lain-lain," lanjut Khairuddin.

Begitu banyaknya orang Indonesia di Malaysia, mendorong mereka untuk membuat paguyuban, seperti Permai (Perhimpunan Masyarakat Indonesia) yang saat ini dipimpin Teuku Rizal Ghading yang asli Aceh. Mereka pun sering mengadakan pertemuan, silaturahmi untuk mempererat tali persaudaraan. Terakhir, pertemuan digelar pada hari Minggu (2/9) di Kuala Lumpur.

Dalam kesempatan itu, Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia AM Fachir mencoba mengingatkan para pekerja Indonesia. "Meskipun 70 persen rakyat Malaysia adalah keturunan Indonesia (dari Aceh, Padang, Palembang, Jawa, Bugis, dan sebagainya), tetapi kehadiran kita di sini adalah untuk memberi sumbangan membangun Malaysia. Meski hanya sebagai pekerja kasar, kita harus berdiri tegak. Hanya saja, di negeri orang, hendaknya kita tidak membuat onar. Jadilah tamu yang baik karena kita ingin dihormati di negeri saudara-saudara sendiri," ujar Fachir yang tanggal 5 September lalu dilantik sebagai Duta Besar Indonesia untuk Mesir.

Banyaknya orang Indonesia dan seringnya terjadi "masalah" di Malaysia—entah terkait TKI atau keamanan—juga melahirkan penilaian tersendiri terhadap "orang kita". Sebutan "Indon" menjadi sering terdengar di Malaysia. Bahkan, sebutan itu cenderung bernuansa menganggap rendah atau melecehkan. Banyak pihak, bahkan parlemen Malaysia pun, sempat membahas masalah sebutan "Indon" yang sebaiknya tidak lagi digunakan karena berkonotasi menganggap rendah. Anehnya, orang-orang Indonesia di Malaysia sendiri justru ada yang suka menyebut diri "Indon" tanpa menyadari bahwa itu mengandung unsur menganggap rendah.

"Kepada saudara-saudaraku semua, jangan lagi menyebut diri sebagai ’Indon’. Itu merendahkan. Mulai sekarang, sebut diri Indonesia. Saya orang Indonesia," ajak Fachir yang disambut tepuk tangan para pekerja Indonesia yang ada di Malaysia. (jan/ton)

sumber :http://64.203.71.11/kompas-cetak/0709/28/sorotan/3872011.htm